[ad_1]
Jakarta –
Yusril Ihza Mahendra membuat kejutan dengan memutuskan menjadi pengacara Jokowi-Ma’ruf Amin pada Pilpres 2019. Empat tahun silam, Yusril membela Prabowo dan Hatta Rajasa pada Pilpres 2014.
Meski menjadi pengacara Jokowi, Yusril menegaskan tak mendukung salah satu pasangan calon. Bukan kampret ataupun cebong, Yusril menyebut dirinya macan.
“Halo semua, selamat menyaksikan Blak-blakan. Ini Blak-blakan betul nih, kalau ikut Pak Jokowi katanya jadi cebong, ikut Pak Prabowo jadi kampret. Ya udah, saya nggak mau jadi cebong, nggak mau jadi kampret, saya jadi macan saja,” kata Yusril berseloroh dalam program Blak-blakan detikcom, Kamis (8/11).
Menjadi pengacara Jokowi, Yusril tak dibayar. Yusril menegaskan pada waktu membela Prabowo pun dia tanpa bayaran.
“Itu gratis saja, tapi Pak Prabowo bilang, ‘Waduh, saya punya utang nih sama Pak Yusril,’ tapi sampai hari ini belum dibayar dan saya pun nggak pernah nagih. Jadi ya sudah anggap ikhlas lillahita’ala saja,” kata Yusril.
Kalaupun nanti ada imbalan dalam bentuk lain? “Ya wallahu a’lam bishawab, kita nggak tahu juga,” jawab Yusril diplomatis.
Sejumlah hal diungkap Yusril setelah jadi pengacara Jokowi. Salah satunya terkait draf aliansi dari ulama yang tak direspons Prabowo.
Yusril menuturkan draf aliansi ulama yang diserahkan ke Prabowo tersebut dirumuskan di rumah KH A Rasyid Abdullah Syafii.
“Draf itu dilaporkan ke HRS oleh Munarman dan dikirimkan tanggal 13 Oktober 2018 ke Pak Prabowo untuk direspons. Hingga kini tidak ada respons apa pun dari beliau,” kata Yusril, Kamis (8/11).
Yusril juga sebelumnya menyarankan agar Prabowo mengumpulkan ketua-ketua partai koalisi untuk mendiskusikan format koalisi. Apabila tak ada format yang jelas, menurut Yusril, bisa jadi hanya Gerindra yang diuntungkan.
“Kalau partai-partai hanya diajak koalisi mendukung paslon Prabowo-Sandi tanpa format yang jelas, sementara pada detik yang sama rakyat memilih presiden dan wapres serta memilih caleg pada semua tingkatan, pembagian ‘peta dapil’ menjadi sangat penting sebagaimana dapat dicontoh sebagai perbandingan dari pemilu di Malaysia,” tutur Yusril.
“Dalam ‘koalisi’ di sini, di satu pihak anggota koalisi disuruh all out kampanyekan Prabowo-Sandi, tetapi dalam pileg di suatu dapil sesama anggota koalisi sama-sama bertempur untuk memperoleh kemenangan bagi partainya. Nanti yang akan terjadi adalah Prabowo-Sandi menang pilpres, tetapi dalam pileg yang sangat diuntungkan adalah Gerindra, yang kemungkinan akan menjadi partai nomor 1 atau nomor 2. Partai-partai anggota koalisi yang lain bisa babak belur. Ini saya katakan dalam pileg di dapil, PBB bisa ‘digergaji’ sama Gerindra,” bebernya.
Pernyataan berikutnya dari Yusril adalah terkait keraguannya akan citra yang selama ini dikembangkan seolah pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno banyak berjasa untuk kepentingan Islam. Sebab, sepengetahuannya, selama ia mengenal dan bergaul dengan Prabowo dan Sandiaga, hampir tak ada rekam jejak yang mengindikasikan ke arah itu.
“Jadi kalau Pak Prabowo dianggap sangat Islam, saya sendiri kurang percaya juga dengan hal itu. Apa iya? Sebab, nggak ada track record-nya,” kata Yusril, Kamis (8/11).
Begitu juga Sandiaga Uno. Dia mempertanyakan kapan Sandi menjadi anggota PII (Pelajar Islam Indonesia) atau HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) atau apa pun. “Atau ketika ulama dikriminalisasi, dia teriak atau dia melawan?” tandasnya.
(rna/nvl)
Source link