Cerita Boediono soal Salah Resep MFI saat Krisis Ekonomi 1998



[ad_1]

Jakarta, CNN Indonesia – Mantan Wakil Presiden Boediono mengakui resep Dana Moneter Internasional (MFIs) untuk mengatasi krisis ekonomi 1997-1998 tak cocok diterapkan Indonesia.

Boediono mengungkapkan krisis 1997-1998 merupakan sesuatu yang beari bagi Indonesia kala itu. Krisis kala itu terjadi karena ada aliran modal balik besar-besaran di Asia, termasuk di Indonesia. Akibatnya, kondisi likuiditas dalam negeri terguncang. Kondisi ini berbeda dengan krisis ekonomi di era 1980-an yang disebabkan oleh penurunan harga minyak.

Karena merupakan sesuatu yang baru, lanjuut Boediono, Indonesia meminta IMF untuk membantu. Lembaga internasional itu tidak hanya memberikan masukan, tetapi juga dukungan pendanaan.

Salah satu resep yang diikuti pemerintah adalah menutup 16 bank sakit dan melaksanakan reformasi struktural dengan mengendalikan likuiditas pada November 1997. Total aset dari 16 bank yang ditutup tersebut relative kecil. Boediono menyebutkan asetnya hanya berkisar tiga sampai empat persen dari total aset perbankan kala itu.

Namun, resep tersebut malah menghantam psikologis pasar dan membuat kepanikan masyarakat. Hal itu terjadi karena pemerintah tidak memberikan sistem penjaminan penuh atas simpanan (full blanket guarantee) saat bank ditutup.

Imbasnya, selang beberapa hari setelah penutupan bank, nasabah berbondong-bondong mengalihkan simpanannya ke bank lain yang dinilai lebih aman. Misalnya, dari bank kecil ke bank besar atau bank pelat merah.

"Waktu itu, terus terang IMF tidak memikirkan dampak seperti ini," ujar Boediono saat menghadiri peluncuran buku 'Mengejar Fajar' of Djakarta Theater, Rabu (28/11).

Setelah tiga bulan berjalan, pemerintah mulai menyadari dampak resep MFI ke perekonomian Indonesia, di antaranya bank kelabakan mencari dana, L / C Indonesia tidak diterima di luar negeri, dan masyarakat lebih menyukai dolar AS dibandingkan rupiah yang kursnya anjlok.

Akhirnya, Januari pada 1999, pemerintah mulai memperbaiki kebijakannya dengan memberikan jaminan pengembalian simpanan. Kebijakan ini berlaku efektif pada Maret 1999 saat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) terbentuk.

"Pemberian jaminan pengembalian dilakukan supaya deposan tidak lagi memikirkan, seandainya bank ditutup maka simpanan aman," ujarnya.

Setelahnya, pemerintah bisa menutup puluhan bank yang dianggap sudah tidak layak untuk hidup tanpa disertai efek berantai yang menghantam psikologis pasar. Sampai akhirnya, pemerintah menutup BPPN pada 2004 karena menilai bank sudah mulai bisa beroperasi normal dengan.

"Baru beberapa tahun kemudian bank-bank kita menjadi bank yang bisa memberikan kredit dan likuiditas lagi kepada ekonomi," pungkasnya. (Sfr / acted)

[ad_2]
Source link