Dana Kelurahan dan Suramadu Dinilai Tak Jamin Jokowi Dipilih



[ad_1]

Jakarta, CNN Indonesia — Peneliti Senior Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro, menilai pencairan dana kelurahan maupun penggratisan tol jembatan Suramadu oleh Presiden Joko Widodo tak menjamin rakyat akan memilihnya dalam Pilpres 2019.

Siti mengatakan hal itu bisa diambil sampel dengan menanyakan ke salah satu dari 100 orang saja, apakah dampaknya apakah langsung memilih pasangan nomor urut 1, Jokowi-Ma’ruf Amin.

“Itu tidak ada jaminannya sama sekali. Menurut saya cenderung tidak selalu,” ujar Siti saat diskusi ‘Menjaga Keutuhan Bangunan Kebangsaan Kita’ di Mercure Hotel, Jakarta, Kamis (1/11).

Dia mengatakan bahwa menjelang pemilu masyarakat sudah mahfum dengan tradisi kebijakan seperti ini. Maka, tidak salah apabila oposisi menarik-narik kebijakan ini ke arah politik.

“Tarikan politiknya tidak bisa dielakkan, meskipun tidak ada yangg salah dengan kebijakan itu karena sebagai presiden ternyata dia diberikan payung,” ucapnya.

Siti menilai, kebijakan-kebijakan Jokowi selaku petahana memang tak bisa dilepaskan dari kepentingan politik. Wajar jika dekat-dekat pemilihan, akan semakin kebijakan yang diterbitkan.

“Ini saya melihat kalau ada pemahaman yang di publik bahwa ini tidak lepas dari kepentingan politik juga. Tidak mungkin bahwa kontestasi ini tidak kental dengan aroma politik. Itu suatu keniscayaan,” ucap Siti.

Selain itu, publik belum tentu memilih Jokowi karena uang yang digelontorkan untuk kelurahan maupun digunakan untuk menggratiskan tol Suramadu adalah milik rakyat. Rakyat bisa berlogika bahwa uang itu memang uang negara, bukan uang Jokowi, sehingga tak ada keharusan memilih mantan Gubernur DKI Jakarta itu.

“Apa yang dipahami oleh masyarakat ini adalah uang negara, bukan uang pak Jokowi. Karena uangnya negara, ya masyarakat ya ini negaraku, saya rakyat Indonesia, saya dapat uang dari negara nanti paling kembali lagi lewat pajak dan sebagainya. Itu saja logikanya,” paparnya.

Oleh karena itu untuk menghindari cibiran politik, pemerintah perlu menjelaskan dengan gamblang signifikansi kebijakan itu. Tujuannya agar rakyat tahu bahwa kebijakan tersebut diambil karena pertimbangan yang matang.

“Yang harus bisa dipahamkan pada publik adalah signifikansi dan urgensinya membuat kebiajkan itu. Seberapa signifikan, bermakna bagi rakyat di kelurahan dan di Suramadu,” kata dia.

Lepas dari itu, Siti juga menekankan bahwa calon pemimpin atau bahkan pemimpin itu sendiri tidak boleh berbohong. Sebab di era serba digital seperti ini, akan sangat mudah mendeteksi kebohongan.

“Politik kita tidak boleh keruh karena terlalu sarat politisasi apalagi menyangkut kepemimpinan. Jadi pemimpin itu memang tidak boleh bohong karena kebohongan itu nantinya bisa diketahui apalagi eranya IT,” kata dia.

Dia menghimbau calon pemimpin yang mana saja untuk mengutamakan sikap kenegarawanan yang berorientasi pada perkembangan Indonesia dan demokrasi. (kst/osc)



[ad_2]
Source link