[ad_1]
“Lepaskan dari konteks politik yang luas, ketika membaca dan menafsir film tersebut. Lihat itu sebagai sebuah film dan karya seni, pasti ada sesuatu yang ingin disampaikan di situ kendati pada saat kita menontonnya dalam hati kita ada ketidaksetujuan,” ujar Nurman kepada Antara di Jakarta, Selasa malam.
Dia mengajak agar masyarakat menikmati dan mengapresiasi kedua film tersebut sekaligus mendapatkan suatu pesan atau pelajaran dari kedua film tersebut.
“Kalau kita datang dan menontonnya dengan pretensi tertentu, apa saja yang disampaikan dalam film itu akan dianggap salah,” tutur Nurman.
Dia sendiri akan menyaksikan “Hanum dan Rangga” serta “A Man Called Ahok”, dengan film kedua sudah dirinya saksikan kemarin malam dan Nurman berencana untuk segera menonton “Hanum dan Rangga”.
Film “Hanum dan Rangga” serta “A Man Called Ahok” saat ini menjadi bahan perdebatan politik di tengah masyarakat Indonesia. Mulai dari membanding-bandingkan jumlah kursi penonton yang terisi hingga adanya instruksi untuk nonton bareng mewarnai persaingan kedua film tersebut.
Menurut Nurman, ada unsur lain bersifat non-bisnis memiliki porsi besar yang mewarnai persaingan kedua film ini hingga menjadi bahan perdebatan politik.
“Mungkin ada unsur bisnis tapi ada juga unsur lain yang saya rasa porsinya itu lebih besar karena perbedaan pandangan, paham, dan politik dalam konteks antara kelompok A dan kelompok B. Dengan demikian aromanya menjadi politik identitas,” katanya usai konferensi pers Borobudur Writers and Cultural Festival.
Nurman memandang seandainya kedua film ini, “Hanum dan Rangga” serta “A Man Called Ahok” hadir lima tahun yang lalu atau yang akan datang mungkin persoalan itu tidak akan muncul.
“Film sebagai sebuah teks yang untuk memahaminya kita harus melihat konteksnya, tapi ini konteksnya terlalu jauh dan dicari-cari. Hal ini akan mengurangi terkait bagaimana kita akan membaca teks film,” ujarnya.
Dalam kondisi seperti ini, menurutnya, akan banyak review atau ulasan yang menarik-narik film itu ke dalam konteks yang terlalu luas tersebut dan ulasannya justru tidak membahas mengenai film itu sendiri.
“Itu berpengaruh pada perolehan jumlah penonton,” katanya dalam wawancara yang berlangsung santai.
Nurman juga menambahkan karena hal tersebut akhirnya film sebagai sebuah teks dibaca dengan konteks yang terlalu luas.
“Hanum dan Rangga” mengisahkan kisah romansa suami-istri yakni Rangga dan Hanum di negeri orang dimana Hanum berupaya mengejar cita-citanya untuk berkarier di sebuah media serta pengorbanan Rangga sebagai seorang suami.
Sedangkan “A Man Called Ahok” menceritakan kisah drama mengenai hubungan Ahok atau bernama lengkap Basuki Tjahaja Purnama dengan ayahnya serta bagaimana awal mula terbentuknya karakter, dan hal-hal yang membuat Ahok menjadi sosok yang dikenal masyarakat seperti sekarang.
Baca juga: “Hanum & Rangga” mengisahkan perjalanan batin penuh konflik
Baca juga: “A Man Called Ahok”, film keluarga yang meminjam kisah Ahok
Pewarta: Aji Cakti
Editor: Monalisa
COPYRIGHT © ANTARA 2018
[ad_2]
Source link