[ad_1]
Jakarta (ANTARA News) – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan bahwa regulator tidak mengatur secara spesifik besaran bunga yang ditetapkan oleh perusahaan teknologi finansial (fintech) pinjam meminjam atau “peer to peer lending” (P2P lending).
“Sebetulnya memang berapa tingkat bunga yang dikenakan oleh perusahaan karena ini sifatnya “peer to peer” di mana mereka langsung berkontrak antara “borrower” sama “lender”, ini tentu kesepakatan antara dua pihak. OJK tidak bisa megintervensi dalam artian menetapkan harus sekian persen, itu tidak bisa,” kata Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Nurhaida di Jakarta, Selasa.
Nurhaida menuturkan, prioritas OJK adalah memastikan perusahaan-perusahaan fintech P2P lending mewajibkan keterbukaan informasi terhadap calon peminjamnya sehingga dapat menilai tingkat risiko peminjaman dan menentukan tingkat bunga, sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi
“Kalau si “borrower”-nya atau yang meminjam transaparan tentang kondisi bisnisnya, prospeknya ke depan, maka yang meminjam bisa mengakses risiko.Ini juga terkait besarnya imbal hasil yang diharapkan dan besaran bunga yang akan dikenakan,” ujar Nurhaida.
Sebagai penghubung antara pemberi pinjaman dan peminjamn, Fintech P2P lending memang menyerahkan risiko peminjam sepenuhnya kepada pemberi pinjaman. Oleh karena itu, bunga imbal hasil yang ditawarkan kepada investor harus menarik sehingga mau menjadi pemberi pinjaman.
Terkait dengan tingkat bunga yang dibebankan kepada peminjam, tinggi atau rendahnya bunga tergantung dari perhitungan risiko oleh fintech dari kemampuan membayar dan juga riwayat peminjaman calon peminjam. Calon peminjam akan dilabeli dengan semacam “rating” mulai dari A (risiko rendah) hingga C (risiko tinggi). Peminjam dengan rating A bisa mendapatkan bunga pinjaman hingga 10 persen, sedangkan peminjam dengan rating C bunga pinjamannya bahkan bisa di kisaran 40-50 persen.
Nurhaida menambahkan, terkait pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan pemberi pinjaman online, harus dilihat dahulu apakah perusahaan tersebut terdaftar dan mendapatkan izin dari OJK atau tidak. Apabila perusahaan tersebut terdaftar dan mendapatkan izin dari OJK dan kedapatan melakukan pelanggaran, maka OJK bisa memberikan sanksi sesuai aturan yang ada.
“Kita lihat dari ketentuannya, tingkat sanksinya ada bermacam-macam. Misalnya diberikan peringatan dan paling terakhir dicabut izinnya.,” kata Nurhaida.
Sementara itu, apabila perusahaan tersebut tidak terdaftar dan mendapatkan izin dari OJK, ia menyebutkan ada Satgas Waspada Investasi yang merupakan gabungan dari sejumlah instansi dan juga pihak kepolisian, untuk menertibkan perusahaan pemberi pinjaman online yang nakal tersebut.
“Memang ada yang bukan mendapatkan izin dari OJK, tapi ada kerugian dari masyarakat sehingga ada Satgas Waspada Investasi yang meng-handle dan OJK adalah salah satu anggota dan menjadi koordinator. Ada juga pihak dari kepolisian dan instansi lain yang dianggap perlu untuk bisa menyelesaikan hal yang sebenarnya bukan dalam ranah OJK,” ujar Nurhaida.
Berdasarkan data OJK per Oktober 2018, jumlah perusahaan fintech P2P lending yang sudah resmi terdaftar di OJK mencapai 73 perusahaan. Dari 73 perusahaan fintech P2P lending tersebut, satu sudah mendapatkan izin resmi dari OJK.
Sebelumnya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta bersama para korban membuka posko pengaduan pinjaman online pada hari Minggu (4/11) lalui. Hal tersebut dilakukan karena maraknya pelanggaran hukum atas beroperasinya perusahaan pinjaman online. Sejak Mei 2018 lalu, LBH Jakarta telah menerima pengaduan dari 283 korban pinjaman online dengan berbagai bentuk pelanggaran hukum.
Perusahaan peer-to-peer (P2P) lending atau pinjaman online (pinjol) marak beroperasi di Indonesia sejak 2013. Awalnya pemerintah menganggap bahwa perusahaan-perusahaan P2P lending tersebut ilegal karena tidak berizin. Namun seiring waktu pemerintah melalui Otoritas Jasa Keuangan kemudian merestui mereka dengan mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
Kasus pinjol sempat mendapatkan pemberitaan yang cukup meluas pada Juni 2018 karena cara-cara penagihan yang tidak patut namun ternyata permasalahan tidak berhenti sampai di situ. Masih ada banyak peminjam yang datang ke LBH Jakarta dari hari ke hari dan mengeluhkan berbagai macam hal.
LBH Jakarta memandang bahwa kewajiban membayar pinjaman adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh semua konsumen atau peminjam, namun persoalan-persoalan yang muncul akibat dari pelanggaran hukum, bahkan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam penggunaan aplikasi pinjaman online tentu tidak dapat dibenarkan.
Pos Pengaduan Korban Pinjol akan dibuka pada 4 November 2018 sampai dengan 25 November 2018. Pengaduan dapat dilakukan secara online dengan mengisi formulir di situs LBH Jakarta.
Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Ahmad Buchori
COPYRIGHT © ANTARA 2018
[ad_2]
Source link