Disekap Militan Suriah, Jurnalis Jepang Dilarang Bersuara



[ad_1]

Jakarta, CNN Indonesia — Tiga tahun menderita dalam sekapan militan Suriah, wartawan Jepang, Jumpei Yasuda, akhirnya kembali ke rumahnya Kamis (25/10).

Kini, Yasudah dapat hidup leluasa karena selama disandera militan, ia dilarang bergerak atau mengeluarkan suara, bahkan saat tidur.

Saat dikurung selama delapan bulan di dalam ruangan setinggi 1,5 meter dan lebar 1 meter, Yasuda juga tidak diizinkan mandi, mencuci pakaian, atau membuat suara, dan gerakan apa pun.

“Karena saya tidak bisa mencuci rambut, kepala saya gatal. Namun, ketika saya menggaruk, itu membuat suara,” kata dia kepada surat kabar Jepang, Asahi Shimbun, selama penerbangan kembali ke Jepang.

“Saya mengeluarkan suara, mengepalkan tangan, bergerak ketika aku tidur. Itu semua dilarang.”

Pengawasan penjaga semakin ketat, terutama setelah ia dituduh sebagai seorang mata-mata.

Pada satu titik, Yasuda bahkan tidak makan selama 20 hari untuk menghindari gerakan apa pun.

“Badan saya hanya kulit dan tulang, perut saya sangat mual. Jika masih lama lagi, saya mungkin akan mati, tapi akhirnya saya pindah ke tempat yang berbeda,” tutur Yasuda.

“Mereka tidak membawakan saya makanan, atau jika mereka memberi saya makanan kaleng, mereka tidak akan membawakan pembuka kaleng.”

Seminggu sebelum pembebasannya, Yasuda dipindahkan kembali ke sel yang terlihat seperti rumah biasa. Keesokan harinya, dia dimasukkan ke dalam mobil dan dibawa ke perbatasan Turki.

“Saya senang dapat kembali ke Jepang. Pada saat yang sama, saya tidak tahu apa yang akan terjadi dari sini atau apa yang harus saya lakukan,” kata Yasuda kepada reuters saat dalam penerbangan Turki.

Saat tiba di Jepang, Yasuda yang mengenakan baju dan celana berwarna hitam serta bepernampilan lusuh dengan janggut tebal. Ia hanya tersenyum ke arah wartawan yang menunggunya.

Istri Yasuda pun meminta awak media untuk memberikan waktu bagi suaminya beristirahat sebelum melontarkan pertanyaan lebih lanjut.

Sementara itu, pengguna media sosial melontarkan kritikan karena menganggap pemerintah menghamburkan uang negara demi membayar tebusan jurnalis tersebut.

Walau pemerintah membantah membayar tebusan, tapi gelombang kritik ini membuat wartawan Jepang khawatir mereka tidak dapat dengan leluasa meliput ke daerah konflik.

“Saya khawatir atmosfer mereka menjadi seperti ini, sehingga orang tidak boleh pergi karena berbahaya dan kecenderungannya menuju pengendalian diri,” kata Yoshihiro Kando, mantan wartawan surat kabar Asahi. (cin/has)



[ad_2]
Source link