[ad_1]
Purwakarta – Perum Jasa Tirta (PJT) II sebagai pengelola Waduk Waduk Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat, berkomitmen untuk menjaga kualitas air di waduk terbesar se-Asia Tenggara itu. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menertibkan keberadaan keramba jaring apung (KJA) yang ada di sana.
“Keramba jaring apung menurut saya tidak ramah lingkungan. Untuk awal pelaksanaan, memang memberiian manfaat. Tetapi, lama kelamaan air akan tercemar. Berbeda bila kita melepas ikan tidak menggunakan keramba dan tidak diberi pakan. Ikan akan memakan apa pun yang ada di danau, sehingga diharapkan kualitas air juga jauh lebih sehat, lebh baik,” ujar Direktur Utama PJT II Djoko Saputro saat menerima kunjungan Ikatan Keluarga Alumni Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) (IKAL) PPSA Group XXI di Purwakarta, Jabar, Senin (22/10).
Dikatakan, pencemaran yang terjadi di Waduk Jatiluhur membuat air di sana bersifat sangat asam. Hal itu membuat tingkat korosifitas sangat tinggi. Salah satu penyebabnya adalah sisa pakan ikan yang tidak termakan, yang jumlahnya bisa ratusan ton per hari.
“Lebih tigapuluh ribu keramba yang ada sekarang, jauh di atas kemampuan danau untuk menerima pengotoran yang terjadi. Apalagi, saat musim kemarau saat ini, di mana tinggi muka air susut. Air kurang, pengotoran sama, sehingga tingkat kontaminasi air sangat tinggi. Ini harus dipikirkan secara holistik, bagaimana mengembalikan kualitas air,” ujar Djoko.
Salah satu dampak korosifitas yang tinggi itu adalah peralatan di waduk, terutama di instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Kerusakan yang terjadi di sana cukup tinggi. “Hampir setiap hari PLTA harus disiram air bersih agar tidak korosif. Bau asam tinggi sekali. Para penjaga di sana juga harus terjaga kesehatannya, karena udara sangat pekat mengandung asam,” ujarnya.
Dikatakan, korosifitas yang tinggi itu mengganggu operasional Waduk Jatiluhur. Padahal, 80% air waduk dialirkan untuk kebutuhan masyakarat Jakarta sebagai air baku dan pengairan sawah-sawah.
Djoko mengakui ada kendala dalam menertibkan keramba di Waduk Jatiluhur. Target PJT II, sampai akhir tahun ini seluruh keramba bisa ditertibkan. “Sejak pertengahan April 2017 dibentuk satgas penertiban dengan melibatkan Pemkab Purwakarta, Kodim, Kepolisian, Kejaksaan, dan dinas-dinas terkait lainnya. Hasilnya cukup signifikan. Semula ada lebih dari 50.000 keramba, saat ini tinggal sekitar 30.000. Ini masih kurang. Kami berharap intensitas penertiban ditingkatkan,” ujarnya.
Kendala yang dihadapi dalam penertiban itu sebenarnya tidak berasal dari masyarakat lokal yang menjadi petani tambak. Pihak-pihak luar yang terkait dengan usaha tambak itu juga terganggu dengan penertiban tersebut.
“Usaha pakan ikan akan terancam. Pengusaha benih juga bereaksi negatif. Jadi, yang menjadi perhatian sekarang adalah kondisi lingkungan waduk dan perekonomian masyarakat, terutama warga lokal,” ujarnya.
Djoko berharap masyarakat juga menyadari pentingnya keberadaan Waduk Jatiluhur bagi masyarakat lain yang membutuhkan air. Pihaknya telah memiliki jalan keluar agar perekonomian warga lokal tidak terganggu.
“Kami akan melakukan sistem culture base fisheries (CBF). Ikan-ikan disebar di waduk tanpa menggunakan keramba dan warga lokal bisa memanen ikan-ikan itu tanpa ada pencemaran air. Dengan cara ini, masyarakat lokal benar-benar mendapatkan penghasilan, bukan sebagai buruh. Sementara, lingkungan waduk dan kualitas air tetap terjaga,” ujarnya.
Ketahanan Pangan dan Energi
Saat memberikan pemaparan kepada para anggota IKAL PPSA Group XXI, Dirut PJT II mengatakan bahwa keberadaan Waduk Jatiluhur penting untuk menjaga ketahanan pangan dan energi. “PJT II memasok sekitar 90% kebutuhan air baku atau 6,8 miliar meter kubik per tahun,” ujarnya.
Waduk juga mengairi arealh pertanian dengan luas total sekitar 300.000 hektare, terutama yang meliputi wilayah Jawa Barat bagian utara. Untuk pengairan pertanian itu, pihak PJT II tidak memungut biaya apa pun.
Dikatakan, produksi rata-rata padi dari sawah yang diairi Waduk Jatiluhur sekitar 5,5 ton/Ha/musim atau 3,3 juta ton/tahun. Jumlah itu setara dengan sekiar 80% produksi padi di Jawa Barat atau sekitar 30% produksi padi nasional. “Ekuivalen harga produksi padi per tahun sekitar Rp 13,86 triliun dengan asumsi harga padi Rp 4.200/kg.
Saat musim kemarau saat ini, PJT II juga berusaha agar pasokan air berjalan normal agar tidak mengganggu produksi padi. “PJT II memberikan dukungan kepada ketahanan pangan nasional melalui pasokan air baku kepada petani tanpa memungut biaya,” ujarnya.
Di bidang energi, pada akhir 2017, PJT II berhasil memproduksi listrik 1,3 miliar kWh, produksi tertinggi yang pernah dicapai sejak PLTA Ir H Djuanda pertama kali beroperasi pada 1967. Produksi listrik tersebut, sekitar 80% dipasok untuk sistem interkoneksi PLN Jawa-Bali dengan tarif Rp 298/kWh.
Sementara, sekitar 20% listrik yang dihasilkan dipasok untuk industri di wilayah Kabupaten Purwakarta dengan tarif Rp 800/kWh. “Jika harga jual listrik PLN kepada konsumen rata-rata Rp 1.000/kWh, maka dukungan PJT II terhadap bauran energi listrik PLN pada 2017 mencapai Rp. 737,2 miliar. Selain itu, dukungan PJT II terhadap energi listrik untuk pertumbuhan industri di Purwakarta mencapai Rp 52,5 miliar,” ujarnya.
Sumber: BeritaSatu.com
[ad_2]
Source link