‘Matinya’ Sariwangi dan Nyonya Meneer Tergerus Globalisasi



[ad_1]

Jakarta, CNN Indonesia — Baru-baru ini, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberikan status pailit pada PT Sariwangi Agricultural Estate Agency (Sariwangi AEA) dan Maskapai Perkebunan Indorub Sumber Wadung. Status tersebut diberikan lantaran pengadilan mengabulkan pembatalan homologasi atau perjanjian perdamaian antara PT Bank ICBC Indonesia dengan kedua perusahaan tersebut.

Sariwangi AEA adalah perusahaan pencipta merek teh Sariwangi, pionir teh celup di Indonesia. Perusahaan tersebut berdiri sejak 1962 dan mengeluarkan produk teh celup pada 1973. Namun, pada 1983, merek teh tersebut kemudian diakuisisi oleh Unilever.

Unilever bahkan menyebut Sariwangi AEA kini tak lagi terkait dengan merek teh Sariwangi. Meski Sariwangi AEA pernah menjadi salah satu pemasok teh Unilever, kerja sama antara keduanya sudah berakhir sejak beberapa tahun silam.

Selain Sariwangi AEA, perusahaan jamu legendaris Nyonya Meneer juga memiliki kisah serupa. Merek jamu yang sudah hadir sejak 1919 dinyatakan pailit pada Agustus 2017 silam, setelah Pengadilan Niaga (PN) Semarang mengabulkan gugatan kreditur konkuren asal Turisari Kelurahan Palur Kabupaten Sukoharjo Provinsi Jawa Tengah, Hendrianto Bambang, untuk membatalkan perjanjian perdamaian yang telah dilakukan kedua pihak.

Adapun perjanjian perdamaian sebelumnya diinisiasi pada dua tahun lalu, sebagai tindak lanjut Proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sebesar Rp7 miliar. Pada Juni 2015, Nyonya Meneer dikabarkan akan membayar utang tersebut melalui cicilan dalam jangka waktu lima tahun. Namun, sampai 2017 Nyonya Meneer tak kunjung membayar utangnya.

Jika mencermati fakta di atas, Sariwangi dan Nyonya Meneer memiliki kesamaan, yaitu berhasil membangun merek, namun gagal mempertahankan keberlangsungan produktivitas perusahaan.

'Matinya' Sariwangi dan Nyonya Mener Tergerus GlobalisasiPabrik Jamu Nyonya Meneer. (CNN Indonesia/M. Andika Putra)

Inovasi dan Regerasi

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus mengatakan akar permasalahan perusahaan diputus pailit adalah kegagalan dalam berinovasi sesuai perubahan konsumsi masyarakat. Era pasar global membuat kompetisi makin ketat, karena perusahaan juga harus bersaing dengan produk luar negeri.

Oleh karena itu, perusahaan harus makin jeli membaca minat dan kecenderungan pasar, lalu berinovasi dengan menelurkan varian produk yang sesuai permintaan konsumen.

“Jadi kuncinya adalah bagaimana pelaku usaha inovatif, kemudian juga bisa membaca pola konsumsi masyarakat,” katanya kepada CNNIndonesia.com.

Ia melanjutkan, perusahaan dipaksa berinovasi untuk mempertahankan pangsa pasar, karena globalisasi adalah suatu yang niscaya. Heri menyatakan inovasi harus menyeluruh dari hulu hingga hilir. Ketika inovasi di hulu dan hilir dapat dilakukan, maka perusahaan dipastikan dapat menjaga eksistensinya di tengah kompetisi pasar.

“Inovasi perlu dilakukan di semua lini mulai hulu ke hilir. Jadi jangan cuma peningkatan teknologi atau produksi hulu, tapi produk jadinya itu-itu saja,” kata dia.

Selain inovasi, tata kelola manajemen perusahaan juga menjadi kunci utama dalam menghadapi ketatnya kompetisi. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menilai perusahaan pailit adalah perusahaan yang gagal dari sisi manajemen perusahaan.

“Perusahaan yang pailit lebih karena manajemen tidak siap mengantisipasi perubahan dan tidak inovatif,” jelas Haryadi.

Sebagai pengusaha yang telah maral melintang di dunianya, Haryadi menyebut manajemen perusahaan harus sensitif dengan setiap perubahan tren pasar. Untuk itu, penting adanya penyegaran atau regenerasi pada jajaran manajemen perusahaan. Ia karier menggarisbawahi perencanaan karir yang matang dalam sebuah perusahaan.

Haryadi menjelaskan, generasi muda dalam sebuah perusahaan harus dibekali banyak ilmu sesuai dengan posisinya. Ketika sudah berpengalaman, generasi muda akhirnya dapat menggantikan generasi tua di jajaran manajemen. Mereka yang muda, kata Haryadi, lebih peka dalam membaca pasar, sehingga perusahaan akan melahirkan banyak inovasi.

“Kebanyakan yang fail (gagal) karena regenerasi perusahaan tidak berjalan, akhirnya dia tidak sensitif dengan perubahan. Karena tidak sensitif dengan perubahan, maka dia mengalami kesulitan penjualan menurun dan utangnya tidak terbayar,” kata Haryadi.

Pengelolaan Utang

Selain manajemen perusahaan, pengelolaan utang menjadi hal yang penting untuk dicerimati perusahaan. Sariwangi dan Nyonya Meneer tidak akan diputus pailit jika saja manajemen pandai dalam mengelola kewajibannya.

Pengamat pasar modal Reza Priyambada mengatakan sebelum berutang sebaiknya perusahaan melakukan efisiensi untuk meminimalisasi jumlah utang. Perusahaan juga harus menyesuaikan nominal utang dengan pendapatan usaha, sehingga dipastikan perusahaan bisa mencicil utang dan bunga utang ketika jatuh tempo.

Setelah berutang, Reza mengatakan perusahaan harus memastikan adanya peningkatan produktivitas. Beberapa perusahaan terpaksa diputus pailit lantaran mereka menambah utang, tetapi produktivitasnya justru malah merosot.

“Yang menjadi masalah, ketika mengambil utang untuk ekspansi namun tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan, sehingga ketika utang jatuh tempo mereka pertimbangkan untuk mengambil utang lagi untuk menutup utang lama (restrukturisasi utang). Sebenarnya restrukturisasi bisa menambah manfaat atau bencana dengan utang menggunung,” kata Reza.

Jadi, lanjut Reza, perusahaan bisa saja berutang, tapi harus disesuaikan dengan tempo pembayaran dan pendapatan. Terlebih, bagi perusahaan yang berutang dalam bentuk valuta asing (valas), di mana mereka juga harus memperhatikan kemampuan pencadangan valas.

Reza mengatakan, untuk mengukur kemampuan utang perusahaan digunakan sebuah rasio yang membandingkan jumlah utang terhadap ekuitas atau Debt to Equity Ratio (DER).

“Yang bagus DER itu satu kali, jadi kalau modalnya satu utangnya satu. Artinya kalau ada potensi pailit bisa dicover dari keseluruhan modal,” ujarnya.

Reza melanjutkan, jika perusahaan diputus pailit bukan berarti perusahaan tersebut gulung tikar. Untuk mencicil utang, perusahaan bisa melepas aset yang dimiliki.

“Balik lagi ke internal terutama dari aset apa aset mereka mencukupi untuk melakukan cicilan utang,” katanya.

Perusahaan juga bisa mencari investor baru yang bersedia menjadi pemilik saham perseroan. Dengan modal baru tersebut, perusahaan bisa membayar utang kepada pihak kreditur. Hal ini terjadi pada kasus pailit Nyonya

Pengusaha sekaligus mantan Menteri Perdagangan Rachmat Gobel pernah menyatakan minatnya untuk membeli perusahaan jamu itu meski tidak 100 persen. Sayangnya, rencana tersebut gagal, lantaran ketidakcocokan harga.

“Dengan investor baru setoran modal akan kembali yang bisa digunakan untuk membayar cicilan. Jadi beban utang berkurang bertahap sambil meningkatkan produktifitas,” kata Reza.

Meskipun perusahaan bisa menjual aset atau mencari investor baru, yang terpenting adalah memperbaiki dan meningkatkan produktivitas perusahaan, sehingga bisa bersaing di pasar. (agi)



[ad_2]
Source link