[ad_1]
Saat ini, mandataori pencampuran biodiesel baik yang mendapatkan subsidiary (public service obligation / PSO) dan tidak mendapatkan subsidiary (non-PSO) tengah diarahkan untuk mencapai 20 persen (B-20).
"Setelah B-20, kita loncat ke B-100," ujar Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto di kantor Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Selasa (24/7).
Menurut Airlangga, upaya peningkatan kadar biodiesel ke B-25 dengan B-100 tidak berbeda. Keduanya sama-sama membutuhkan pabrik dan mesin yang siap mengadopsi.
Dari sisi mesin, lanjut Airlangga, sebenarnya sudah ada diesel mesin yang bisa mengadopsi penggunaan B-100. Namun, Airlangga mengakui sampai saat ini kebanyakan mesin baru bisa mengadopsi biodiesel dengan kadar maksimal 20 persen
Awal bulan ini, Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan jajarannya untuk mengkaji kemungkinan percepatan mandatori pencampuran biodiesel sebesar 30 persen (B-30). Hal itu dilakukan untuk menekan impor minyak dan gas (migas) yang membebani neraca dagang Indonesia
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, impor migas sepanjang semester I 2018 tercatat di angka US $ 14,04 miliar atau meningkat 20,82 persen dari posisi tahun lalu US $ 11.62 miliar.
Dengan mandatori pencampuran biodiesel, Jokowi menyebut negara bisa menghemat devisa sebesar US $ 21
Sesuai peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 12 tahun 2015, mandatori B15 dimulai pada April 2015 dan B-20 pada 2016. Setelah itu, mandatori B-30 harus bisa dimulai pada Januari 2020.
Berdasarkan data Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia, produksi biodiesel sepanjang lima bulan pertama tahun ini ada di angka 3.46 juta kilo liter ( kl). Dari angka itu, sebanyak 2,57 juta kl dipasarkan di dalam negeri dan 187,349 kl sisanya dialokasikan untuk ekspor. (acted)
[ad_2]
Source link