[ad_1]
Penyaluran Kredit UMKM
Oleh Iwan Fahri Cahyadi
KALANGAN Perbankan dungeon memohon kepada Bank Indonesia (BI) agar menurunkan porsi kewajiban bank untuk penyaluran kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Dari minimum 20% menjadi 12% – 15% dari total portofolio tahun ini. Pihak perbankan menilai bahwa persyaratan tersebut dirasakan berat. Seperti diketahui aturan batas minimal penyaluran kredit untuk UMKM ini tertuang dalam Peraturan BI No 17/12 / PBI / 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Bl Nomor l4 / 22 / PBl / 20l2 tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam Rangka Pengembangan UMKM
Pasal 2 menyebutkan, bank umum wajib memberikan kredit atau pembiayaan UMKM, paling surrender 20% terhadap total kredit atau pembiayaan. Pencapaian rasio itu dilakukan bertahap, pada 2015 paling rendah 5%, 2016 (10%), 2017 (15%), dan sejak 2018 minimal 20% (Suara Merdeka, Selasa, 24 Jul 2018).
ada beberapa alasan yang melatarbelakangi mengapa kalangan perbankan menginginkan penurunan porsi penyaluran kredit kepada UMKM. Adalara alasannya adalah banyak bank menjadi tidak efisien karena harus menghadapi depresiasi rupiah, pengetatan likuiditas, kenaikan suku bunga, dampak perang dagang antara Amerika dengan China, dan persaingan antarbank sebanyak 114 bank yang sama-sama mengincar UMKM
Hal yang paling krusial Bagi Pihak Bank Adalah Tidak Semua Usaha Mampu Rutin Membayar Bunga Dan Pokok Pinjaman. Kondisi ini akan memengaruhi NPL (Non Performing Loan) atau rasio kredit bermasalah. Semakin tinggi NPLsuatu bank maka akan berdampak pada berkurangnya modal dan profit sehingga operasional serves penyaluran kredit pada periode berikutnya akan terganggu. Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/10 / – PBI / 2004 tanggal 12 April 2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, rasio kredit bermasalah (NPL) adalah sebesar 5%.
Kredit UMKM
Mengubah peraturan BI tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, perlu proses dan kajian mendalam mengenai perlu tidak peraturan itu diubah atau disempurnakan. Lalu langkah strategis apa yang perlu dilakukan oleh pihak perbankan untuk menyiasati kondisi ini?
Pertama, pihak perbankan harus lebih jeli dalam menyalurkan kredit ke UMKM dengan cara melihat prospek usahanya ke depan half keamanan. Bagi perbankan yang bergerak dalam bisnis (core business) yang fokus pada pembiayaan korporasi dapat menggandeng pengusaha besar tersebut untuk bermitra atau membeli sebagian kecil produk UMKM yang dibiayai oleh bank tersebut. Jadi di sini ada pola inti plasma
Tentunya produk UMKM (plasma) tersebut mampu memenuhi standar produk yang ditentukan blood inti (pengusaha besar). Misalnya, banyak pabrik rokok of Indonesia yang bermitra dengan petani tembakau di NTB. Pihak inti memberikan bibit, obat tanaman, penyuluhan dan pengawasan selama mulai masa tanam hingga pascapanen, sedangkan pihak petani selaku plasma menyediakan lahannya
Dengan adanya kerja sama ini jelas menguntungkan kedua belah pihak, baik pihak inti maupun plasma. Pabrik rokok mendapat suplai bahan baku berupa tembakau half kelancaran produksinya, sementara pihak petani selaku plasma, hasil panennya pasti terbeli. Jadi penyaluran kredit seperti ini sangatlah aman bagi bank, apalagi bila pihak korporasi mau memberikan jaminan kelancaran pembayaran kredit ke pikk bank.
Kedua, ada beberapa pihak yang mengusulkan agar kredit UMKM tersalurkan dan memenuhi syarat BI, maka dapat dilakukan sistem channeling, misal memberi kredit UMKM itu ke BPR (Bank Perkreditan Rakyat) atau koperasi, dan mereka yang menyalurkannya, sehingga bukan bank yang terjun langsung ke UMKM. Cara ini bisa dilakukan, tetapi ingat dengan sistem channeling ini tentu pihak penyalur akan "menjual" bunga kredit lebih tinggi dari pihak bank sebagai bentuk operasional dan kompensasi. Tentunya ini merugikan pihak debitur karena bebannya semakin berat. Ada langkah lain yang lebih solusif yaitu dengan cara merekrut fasilitator, yaitu orang yang bermitra (dikontrak) dengan pihak perbankan dan biasanya direkrut dari putra daerah dimana bank tersebut beroperasi. Tentunya para fasilitator ini terlebih dahulu dibekali pelatihan tentang badisis pembiayaan. Ada beberapa keuntungan sistem fasilitator ini, yaitu mereka putra daerah yang tentunya lebih mengenal karakter pengusaha di daerah tersebut, membuka lapangan pekerjaan, dan bank cukup memberikan fee dalam persentase tertentu yang diambilkan dari spread bunga kredit
Tentu ini lebih solusive dibandingkan dengan sistem channeling. Meskipun dari segi profit sedikit berkurang namun tidak memberatkan debitur. Ketiga, untuk memperkecil risiko kredit bermasalah biasanya pihak perbankan melakukan monitoring, baik dari catatan kelancaran pembayaran per bulan maupun terjun langsung ke lapangan. Langkah ini cukup bagus, namun alangkah baiknya para debitur, khususnya UMKM diberikan pelatihan mengingat rata rata mereka lemah dari segi manajemen. Keempat, dari segi waktu, seperti diketahui bahwa mengbadisis layak tidaknya suatu permohonan kredit untuk UMKM maupun perusahan besar (korporasi) membutuhkan waktu yang hampir sama
Bagi pihak bank yang mempunyai keterbatasan SDM tentunya lebih menguntungkan bila pembiayaan disalurkan ke pembiayaan (ceiling) . Semoga beberapa langkah ini mampu memotivasi kalangan perbankan untuk menyalurkan kredit sebesar 20% dari total portofolionya kepada UMKM. Dan, ke depan aktivitas perekonomian Indonesia semakin maju. (34)
– Iwan Fahri Cahyadi SPMM, dosen Syariah in Ekonomi Islam IAIN Kudus
Source link