[ad_1]
Dilansir dari Reuters, Kamis (1/11), harga minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Desember 2018 turun US$0,44 menjadi US$75,47 per barel. Sementara, harga Brent untuk pengiriman Januari yang lebih aktif merosot US$0,91 menjadi US$75,04 per barel.
Pelemahan juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) sebesar US$0,87 menjadi US$65,31 per barel.
Kedua harga acuan terjerembab lebih dari US$10 per barel sejak mencapai level harga tertinggi dalam empat tahun terakhir pada 3 Oktober lalu. Secara bulanan, kedua harga acuan juga mencatatkan performa terburuk sejak Juli 2016 dengan harga Brent merosot 8,8 persen dan WTI 10,9 persen.
Sentimen investor terhadap kelompok aset berisiko, seperti saham dan energi, tercatat negatif selama tensi perdagangan AS -China meningkat. Sentimen tersebut memicu kekhawatiran terhadap permintaan.
Pada Rabu (31/10), sinyal kenaikan produksi global juga turun membebani sentimen pasar. Badan Administrasi Informasi Energi AS (EIA) menyatakan produksi minyak mentah AS naik 416 ribu barel per hari (bph) menjadi 11,346 juta bph pada Agustus 2018 lalu.
Data Refinitiv Eikon menunjukkan AS dan produsen utama minyak mentah dunia lain, Rusia dan Arab Saudi, menghasilkan 33 juta bph pada September 2018. Produksi tersebut, naik sekitar 10 juta bph sejak 10 tahun lalu.
Sumber Reuters menyatakan produksi minyak Rusia telah mencapai 11,41 juta bph pada Oktober. Produksi tersebut tak pernah terjadi sejak kolapsnya Uni Soviet pada 1991 lalu.
Kenaikan produksi terjadi sebelum berlakunya sanksi AS terhadap sektor perminyakan Iran pada 4 November 2018 mendatang. Berlakunya sanksi tersebut diperkirakan bakal memangkas pasokan minyak dunia.
“Ada persepsi bahwa saat ini minyak cukup di pasar untuk melalui sanksi terhadap Iran,” ujar Analis Price Futures Group Phil Flynn di Chicago.
Gedung Putih telah menegaskan ingin konsumen minyak mentah menghentikan impor dari Iran hingga ke level nol sejak sanksi berlaku efektif. Kendati demikian, Rabu (31/10), Penasehat Keamanan AS John Bolton menyatakan meski negaranya ingin memberikan tekanan maksimal terhadap Iran dengan memberlakukan sanksi pada ekspor minyak mentahnya.
Tapi katanya, AS tidak ingin menyakiti negara sahabat dan sekutunya yang bergantung pada minyak tersebut. Berdasarkan data pemerintah di sejumlah negara serta data pengiriman melalui kapal, impor minyak dari Iran oleh konsumen utama di Asia terteken ke level terendah dalam 32 bulan terakhir pada September seiring China, Korea Selatan, dan Jepang memangkas pembeliannya sebelum sanksi berlaku.
Di awal sesi perdagangan, harga minyak dunia sempat naik setelah EIA menyatakan persediaan minyak mentah AS naik 3,2 juta barel pekan lalu, lebih rendah dari perkiraan sebelumnya. Persediaan bensin dan minyak distilasi menurun seiring kenaikan permintaan selama empat pekan terakhir sebesar 5,4 persen secara tahunan.
“Penurunan persediaan produk yang bersifat mendongkrak harga telah menjadi penyeimbang dari sentimen penekan harga,” ujar Direktur Riset Komoditi Clipper Data Matt Smith.
Sentimen di pasar minyak juga mendapatkan sokongan dari pasar modal, setelah bangkit dari level terendah dalam 20 bulan terakhir karena pernyataan China yang akan menopang pasarnya.
Pasar modal telah berada di bawah tekanan akibat perang dagang antara dua perekonomian terbesar di dunia, AS dan China. Gedung Putih telah mengenakan tarif terhadap US$250 miliar impor produk dari China dan China telah membalasnya dengan mengenakan tarif terhadap US$110 miliar produk AS.
(sfr)
[ad_2]
Source link