Transisi Energi Fosil ke Energi Bersih Perlu Pertimbangkan Disparitas Harga



[ad_1]

Transisi Energi Fosil ke Energi Bersih Perlu Pertimbangkan Disparitas Harga
Pekerja melakukan pemeriksaan rutin jaringan instalasi pipa di wilayah Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Salak yang berkapasitas 377 megawatt (MW) milik Star Energy Geothermal, di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Rabu (4/4/2018). – JIBI/Rachman

Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan mengatakan, transisi energi dari energi fosil ke energi hijau harus memperhatikan disparitas energi dan kemampuan ekonomi dalam negeri.

Menurutnya, kondisi di Indonesia tidak bisa disamakan dengan kondisi di negara-negara lain yang gencar melakukan transisi ke EBT, seperti Uni Eropa yang menargetkan prosi EBT dalam bauran energi 40%-50% pada 2030.

“Di belahan bumi manapun posisi tidak sama. Masalah ketahanan ekonomi, GDP per capita, disparitas, gini ratio tidak sama. Ini jadi faktor kalau kita mau bahas transisi energi. Transisi pasti menimbulkan usaha baru, ciptakan teknologi, tapi juga timbulkan biaya-biaya baru,” ujar Jonan dalam acara Grand Launching Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dan Indonesia Energy Transition Dialogue Forum (IETDF) 2018 di Jakarta, Kamis (15/11/2018).

Dia menilai Indonesia saat ini belum bisa secara besar-besaran beralih ke energi baru dan terbarukan (EBT) mengingat investasi pengembangan EBT masih tinggi. Masih tingginya investasi, membuat harga jual listrik menjadi mahal dan tidak terjangkau bagi masyarakat.

Untuk membuat harga listrik dari EBT terjangkau diperlukan adanya insentif. Namun, kata Jonan, pemberian insentif saat ini masih menjadi tantangan tersendiri. Pasalnya masih banyak masyarakat yang belum dapat menikmati listrik. Bila insentif ingin diterapkan, rasio elektrifikasi nasional harus dipenuhi 100% terlebih dahulu agar tak menimbulkan kecemburuan sosial.

Saat ini, rasio elektrifikasi Indonesia mencapai 98,05%, artinya masih ada sekitar 2% atau setara dengan 5 juta orang yang belum dapat menikmati listrik.

“Ada yang belum dapat listrik, tapi kita ribut EBT, protes besar nanti. Disparitas masih lebar,” katanya. “Saya dukung transisi energi, tapi kita harus ikuti daya beli masyarakat.”

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai disparitas energi, yakni belum meratanya rasio elektrifikasi tidak menjadi hambatan dalam pengembangan EBT. Menurutnya, EBT justru dapat menjadi solusi untuk mengatasi ketidakmerataan rasio elektrifikasi.

“Misal Papua kaya dengan biombada dan surya. Kalau bisa dikembangkan persoalan elektrifikasi bisa diselesaikan dan itu jauh lebih murah daripada pakai diesel,” kata Fabby.

Selain itu, kata Fabby, harga teknologi EBT saat ini juga semakin murah dan kompetitif terhadap pembangkit fosil. Dia mencontohkan dari hasil Studi Pasar Listrik Surya Atap yang dilakukan GIZ-INFIS dan IESR belum lama ini mengindikasikan bahwa penurunan harga sistem PV hingga 30-40% atau dengan adanya manfaat finansial yang sama dapat memicu sedikitnya 4 juta rumah tangga di Pulau Jawa, yang dikategorikan sebagai early follower, untuk memasang listrik surya atap (solar rooftop), yang setara dengan kapasitas 12-16 GWp.

Sementara itu, VP Perencanaan Sistem PT PLN (Persero) Suroso Isnandar mengatakan, secara teknis sistem PLN telah siap menerima penetrasi dari pembangkit EBT yang mayoritas bersifat intermitent. PLN juga sudah melakukan beberapa upaya modernisasi sistem.

“Persoalannya tinggal keekonomian. Kami nggak ingin ketika EBT masuk terus menaikan biaya pokok produksi. Kalau naik, tarif kan naik, sementara tarif listrik ke masyarakat nggak boleh naik. Jadi kalau ada EBT bisa jual dibawah BPP pasti kami beli, kalau lebih siapa yang nanggung,” katanya.



[ad_2]
Source link